Categories
Opini

Josee, the Tiger and the Fish: Romansa Disabilitas

  • Judul film                    : Josee to Tora to Sakana-tachi (Josee, the Tiger and the Fishes)
  • Tahun produksi           : 2020
  • Direktor                  : Tamura Kotaro
  • Penulis naskah             : Seiko Tanabe
  • Produser : Shuzo Kasahara, Koichiro Mukai, Mari Suzuki
  • Penayangan : Sayaka Kuwamura
  • Sinematografer : Nao Emoto
  • Editor : Kumiko Sakamoto
  • Desain : Yuji Kaneko
  • Musik : Evan Call
  • Pengisi Suara                :
  • Josee (Kiyohara Kaya)
  • Suzukawa Tsuneo (Nakagawa Taishi)
  • Kishimoto Kana (Lynn)
  • Matsuura Hayato (Okitsu Kazuyuki)
  • Ninomiya Mai (Miyamoto Yume)
  • Yamamura Chizue (Matsutera Chiemi)
  • Durasi                          : 98 Menit

Seorang mahasiswa Biologi Kelautan, Suzukawa Tsuneo bercita-cita untuk belajar di luar negeri dan menyelam di perairan tropis di Meksiko. Tapi rencananya untuk masa depan terganggu ketika dia bertabrakan pada di tengah jalan pulangnya dengan seorang gadis berkursi roda yang menyebut dirinya sebagai Josee, meskipun neneknya memanggilnya sebagai Kumiko yang memang merupakan nama aslinya. Tsuneo ditambah saat itu sedang mencari penghasilan tambahan untuk mendukung pembiayaan beasiswa menggapai cita-citanya ke Meksiko. Nenek Josee yang tahu bahwa Tsuneo membutuhkan uang, tampaknya karena iseng, nenek Josee yang terlalu protektif mempekerjakannya sebagai pengasuh paruh waktu, dan keterlibatan Tsuneo terhadap kisah hidup Josee, vice versa dimulai meskipun Josee menuntut dan kasar, dia dan Tsuneo saling memperluas wawasan satu sama lain. Ketika tragedi menimpa keduanya, secara terpisah, mereka dipaksa untuk mempertanyakan apa yang mereka inginkan dari masa depan.

© Studio Bones / Josee Committee

Josee yang Terkekang

Setelah kejadian bertabrakannya Josee dengan Tsuneo di malam musim dingin, neneknya semakin protektif kepada Josee bahkan mengingatkan Tsuneo untuk tidak mengajaknya keluar karena takut bahwa Josee akan mengalami kecelakaan atau setidaknya kemalangan atas dirinya tercermin bahwa neneknya menerapkan prinsip “Soto wa moujuu bakari no abunai basho” (Dunia luar adalah tempat berbahaya yang dipenuhi monster) dan kata-kata ini sangat menempel sekali di benaknya.

Saat Tsuneo dipaksa oleh Josee untuk mengajaknya pergi ke pantai di sekitar Osaka, ketidakfamiliaran Josee mengoperasikan tiket mesin ataupun menggunakan suica (kartu trip kereta) hingga keberadaannya tidak terasa bahkan mengganggu bagi sebagian orang yang melintas, mencirikan bahwa tidak hanya Josee terkekang oleh keluarganya sendiri dari menjadi seorang manusia yang sebenarnya terlepas dari kekurangan yang dimilikinya melainkan lingkungan sekitarnya mengekang Josee bahwa dunia ini tidaklah cocok bagi seseorang yang menyandang disabilitas.

Josee yang terkekang tidak hanya oleh saudara sedarahnya maupun lingkungannya merasa cemas dalam berinteraksi, kehilangan percaya diri menyebabkannya gugup karena memikirkan apakah dirinya pantas berada di lingkungan yang tidak menginginkannya. Rasa kesal dan pasrahnya tergambar dari kepalan tangannya yang disorot secara khusus yang berujung keinginan Josee mengakhiri hidupnya di perlintasan kereta dekat rumahnya yang ditolong oleh Tsuneo.

Josee telah lama merasakan hidup dalam kebosanan untuk menerima sugesti bahwa ia menyandang disabilitas yang seharusnya duduk diam karena tidak bisa melakukan apa-apa. Kenangan menikmati dunia luar hanyalah pada masa kecilnya bersama orang tuanya di kala masih ada. Sekalipun rumahnya di dekat laut, Josee belum pernah merasakan asinnya air laut yang sebatas hanya mendengar cerita ayahnya yang juga pernah menceritakannya kalau mengumpulkan sepuluh daun semanggi, keinginan dapat terkabul ataupun bercerita bahwa dengan menghitung lubang tatami dapat membuat seseorang tertidur.

© Studio Bones / Josee Committee

Semua Berubah ketika Tsuneo M̶e̶n̶y̶e̶r̶a̶n̶g̶ Datang

Fungsi Tsuneo di sinilah sebagai kunci berjalannya cerita. Meskipun Josee memang diperlukan, tapi alurnya akan monoton bila tanpa kehadiran Tsuneo.

Josee yang terkekang mau tidak mau menikmati hari-harinya dengan membaca buku. Namun, apa yang diberitahu oleh buku terutama novel dari Francois Sagan bukanlah perumpamaan apa yang terjadi di luar sebenarnya. Josee membayangkan dunia luar mengikuti penuturan buku-buku yang dibacanya yang kemudian dituangkan setiap bayangan pemikirannya ke dalam sebuah gambar yang lama-kelamaan menjadi renjana dirinya. Sebagian memperlihatkan Josee bagaimana New York dan Paris menjulang dan indah menghiasi, namun dunia luar yang diharapkan Josee menjadi tidak masuk akal di mana ia berangan-angan berenang mengitari Osaka menjadi puteri duyung bersama ikan-ikan.

Di sini Tsuneo bermainkan perannya menghadirkan dunia luar yang sesungguhnya ke hadapan mata Josee dengan berusaha mengganti pemikiran di benaknya bahwa dunia luar memang tidak semerbak layaknya dunia fantasi, namun banyak hal lain yang lebih indah tetapi masuk akal. Josee pun dari masa inilah mulai merasakan dan belajar hal-hal baru seperti memakan makanan crepe, melihat pesawat terbang, bahkan melihat langsung dalamnya lautan di akuarium publik Osaka yang mengubah cara pikirnya sekaligus menghilangkan kesepiannya karena adanya interaksi dengan Tsuneo.

Tsuneo mengajari pula Josee untuk berkomunikasi tidak hanya dengannya, melainkan kepada lingkungannya bahwa tidak ada yang untuk ditakuti oleh Josee, siapapun bisa melakukannya selama ada kemauan dan pemikiran positif. Hal tersebut berbuah hasil, meskipun pada tahap awal tidak mungkin adanya perubahan secara total, dengan gugup malu, Josee berusaha berinteraksi yang menghasilkan temannya seorang pustakawan bernama Kana-chan karena sesama penyuka karya Francois Sagan. Josee juga mau membacakan buku anak yang berpapasan dengannya meskipun sempat dikecewakan akibat nada penyampaiannya yang kaku, namun Josee menyadari bahwa potensinya telah keluar melalui penceritaan gambar yang membuat kagum anak tadi.

© Studio Bones / Josee Committee

Masalah Dilema

Tsuneo yang telah mengubah hidup Josee dari kebosanan menjadi berwarna atau menurut neneknya sebagai layaknya papan Glico yang siap berlari, serta pandangan Josee terhadapnya dari sekadar seorang Kanrinin (Pelayan) menjadi seseorang yang selalu mengisi harinya menuruti kemauannya bahkan yang dahulu membuatnya kesal kini membuatnya tawa.

Berbeda dengan karakter dalam versi film aslinya, inkarnasi Tsuneo ini sangat diidealkan ia menjadi seorang siswa teladan dan pria yang memiliki kesabaran yang tampaknya tak habis-habisnya dengan perilaku buruk Josee dalam membuatnya bersosialisasi. (Josee sangat suka memerintah; dia menyebutnya sebagai ‘orang bodoh’ atau ‘pelayanku’, dan pada satu kesempatan, Josee menggigitnya.) Namun perlu dicatat, bahwa Tsuneo juga bekerja sampingan di toko perlengkapan selam tempat Tsuneo bekerja paruh waktu terdapat rekan wanitanya bernama Mai, gadis lain yang jauh lebih baik, yang tidak akan pernah bermimpi menenggelamkan giginya ke rekan kerjanya. Mai diam-diam jatuh cinta pada Tsuneo, tapi kasih sayangnya tak terbalas.

Menyadari cintanya tidak pernah akan tersampaikan ke Tsuneo, ditambah Tsuneo yang semakin memperhatikan Josee daripada dirinya yang tidak pernah dilihatkannya kecuali ketika pasar malam di mana Tsuneo pun tengah dalam keadaan mabuk akibat tidak tahan mengurus Josee pada awal-awalnya, akhirnya keegoisan dari seorang Mai terlihat saat mengkonfrontasi Josee mengatakan Tsuneo peduli karena simpati dan Josee dianggap menghalangi jalan Tsuneo untuk meraih beasiswa ke Meksiko.

Plot cerita yang telah dikembangkan kembali buat turun hampir ke arah nol oleh Koutarou dengan membuat Josee menyadari kembali seperti awal-awal di mana ia memikirkan bahwa lingkungannya menolak kehadirannya dan Tsuneo hadir hanya berpura-pura baik karena melihat kekurangan Josee. Ditambah tampaknya Josee pernah mengalami trauma kehilangan teman/partnernya atas kehadiran tokoh yang baru dengan melihat keakraban Mai dan Tsuneo melupakan kalau Josee masih berada di tempat yang sama terlepas kecemburuan yang disandangnya.

Ketika cinta muncul di antara dua wanita atas satu pria, di sanalah konflik terjadi.

© Studio Bones / Josee Committee

Plot Dramatis

Josee yang kembali terpuruk dalam pemikiran negatifnya, kembali dihujani dengan kejadian-kejadian malang lainnya. Beberapa hari berselang, neneknya tiada. Dengan pandangan yang semakin kosong karena tekanan batin yang dialami Josee, membuatnya mengurung diri. Di tengah kemalangannya itu, pekerja sosial yang dipanggil oleh tetangganya memberi tahu kepada Josee bahwa dirinya nanti akan ditempatkan sebagai pekerja kantoran. Bukan hanya mengalami kemalangan yang luar biasa, ia bahkan kehilangan renjananya dalam bidang seni rupa.

Semakin besar tekanan yang diberikan pada Josee akhirnya ia memutuskan untuk menerima semua kemalangan tersebut dimulai dari mengakhiri hubungannya dengan Tsuneo agar bermaksud bagi Josee melepaskan kekangan terhadap Tsuneo yang terikat karena simpati melalui tugasnya yang “terakhir” untuk membawa Josee ke laut lagi. Sesampainya di sana kemurungan atas Josee digambarkan dengan langit yang mendung akan turun hujan dengan angin yang berhembus kencang menyiratkan bahwa beban yang diterima Josee begitu bertubi-tubi.

Adegan ini mengingatkan betul kepada sinetron-sinetron yang kerap tayang di televisi swasta empat huruf bahwa ketika seorang tokoh dalam kondisi yang murung, maka cuacanya pun akan mengikuti perasaannya. Apalagi adegan dramatis kecelakaan Tsuneo yang hendak menyelamatkan Josee yang kursi rodanya tersangkut benar-benar khas dari sinema Indonesia di mana tokoh memilih diam daripada menyelamatkan diri menarik Josee ke arah trotoar seperti menyelamatkan Josee di saat pertama kali bertemu.

Mungkin ada yang berpikiran, toh, memang Josee ini bila diserialisasikan jatuhnya juga sinetron-sinetron jua. Perubahan plot seharusnya bisa digambarkan dengan adegan yang tidak familiar bukan yang sudah pasaran untuk menyeimbangi cerita-cerita yang sudah menarik sebelumnya.

Singkat cerita, plot berubah, Tsuneo diprediksi dapat menjadi lumpuh yang tidak hanya menambah kembali beban bagi Josee, juga menghilangkan semangat hidupnya Tsuneo dengan kedatangan dosennya memberitahu jika masih belum sembuh maka beasiswa dibatalkan dan kelumpuhan Tsuneo membuatnya tidak bisa menyelam lagi.

© Studio Bones / Josee Committee

Penanaman Nilai Tersirat

Kemalangan yang bertumpuk banyak menyadarkan Josee bahwa jika ia memutuskan untuk diam, kemalangan lainnya akan terus bertambah, sehingga ketika Tsuneo dalam masa perawatan, Josee selalu berusaha menjenguknya hingga memberinya semangat untuk tidak membuang semua cita-citanya yang akan berujung menyedihkannya sama seperti Josee yang memberikan pesan bahwa manusia perlu tindakan untuk perubahan, diam saja pun tidak mengubah keadaan sama sekali.

Pesan lainnya yang disampaikan adalah penyesalan akan muncul terakhir maupun mengumpat akan menyengsarakan orang lain di sekitarnya dan si pengumpat melalui kedatangan Mai yang datang menjenguk sekaligus menyampaikan bahwa ia menyukai Tsuneo sejak dulu dan kemalangannya timbul akibat umpatan Mai yang tidak ingin Tsuneo pergi ke Meksiko melainkan berada di sisinya selalu.

Josee yakin melalui cintanya yang tulus dan saling percaya dengan Tsuneo menyatakan kepada Mai saat Mai bertaruh atas Tsuneo bahwa kedekatan dengan seseorang tetap kalah ketika seseorang tersebut menaruh kepercayaannya. Tsuneo benar berusaha kembali untuk sembuh dan Josee berusaha memberikan dorongannya dari belakang.

Masalah akan membuat seseorang tegar dan bijak tercermin dari Josee yang tidak hanya kembali berusaha mengambil renjananya menjadi ilustrator paruh waktu di samping kerja kantorannya, juga mulai berlatih public speaking yang dibuktikannya melalui cerita putri duyung buatannya untuk Tsuneo yang dikerjakan Josee selama perawatannya. Alhasil? Tidak hanya membuat penceritaan yang telah lancar meyakinkan anak-anak tetap duduk, juga membuat Tsuneo tersentuh dan termotivasi hingga dinyatakan sembuh dan keluar dari rumah sakit pada 25 Desember tepat di Hari Natal.

© Studio Bones / Josee Committee

Konklusi

Sudah beberapa tahun sejak penayangan film anime beraliran romansa seperti Your Name (Kimi No Na Wa) dan A Silent Voice (Koe no Katachi) yang mengungkapkan anime dalam kehancuran emosional dalam skala yang sampai sekarang tak terbayangkan. Sementara banyak anime sejak saat itu yang telah mencoba untuk menangkap kembali pencapaian emosi tertinggi, dan terendah yang penuh air mata seperti Mirai, Fireworks: Should we See it from the Side or the Bottom, dan bahkan karya Makoto Shinkai sendiri selepas Your Name, Weathering with You, kini masuk ke dalam daftar baru, Josee, Tiger and the Fish.

Josee dengan syukurnya menyajikan sebuah akhir bahagia yang bagi penikmat romansa begitu terpuaskan dengan tambahan adegan spesial di pengujung setelah Tsuneo berusaha mencari Josee yang seharusnya dijadwalkan bertemu saat keluar dari rumah sakit. Namun bagi Josee, menjadi seseorang mandiri dalam benaknya, padahal kemandirian dapat bisa diraih tanpa perlu meninggalkan seseorang yang dicintai.

Film ini juga dimanjakan oleh visual Osaka maupun lautan berikut dengan makhluk yang ditinggal di sana dengan penggambaran pemandangannya yang memanjakan mata, ditambah pula dengan sorotan-sorotan visual tertentu untuk menegaskan pesan tersirat dalam adegan yang dibawakannya. Belum lagi, musik latar yang diracik Evan Call selaras dengan visualnya dan disambungkan dengan lagu Shinkai yang bernada menggugah semangat dan diakhiri Ao no Waltz bernada romansa yang sama-sama diusung oleh Eve penyanyi anisong terkenal di kalangan penikmat jejepangan.

Film sederhana yang menggambarkan kehidupan jepang yang dibangun untuk mengajarkan yang berat yang harus dilalui oleh seseorang yang patah harapan dan kehilangan semangat, bahkan kehidupan di luar sana banyaknya kehadiran tiger, tetapi harus mengingat bahwa di samping itu banyak fish yang selalu menemani dan menyemangati aliran yang dilewati.

© Studio Bones / Josee Committee
Categories
Uncategorized

Menapaki Jejak di Selatan Jawa Barat (2)

Cianjur

Sebelum adanya niatan untuk melakukan penapakan ini, saya mulai tertarik dengan berlibur ke pantai dikarenakan teman-teman yang memutuskan perjalanan ke sana. Daerah inilah yang mereka tuju saat itu. Dulu saya pikir bahwa menuju pantai adalah sebuah perjalanan panjang dan bisa memakan waktu lebih dari seharian. Sebagian memang tepat, perjalanan menuju ke pantai betul-betul lama nan melelahkan, tetapi tidak sampai memakan waktu seharian. Kembali ke cerita, mereka memutuskan untuk menuju ke Pantai Jayanti, Kabupaten Cianjur. Bayangan saya waktu itu kalau berkunjung ke pantai pasti wah rasanya. Akhirnya saya mengikuti jejak mereka setelah kesampaian menelusuri jejak pantai selatan Jawa Barat.

Perjalanan yang sama seperti halnya saat menuju Garut, hanya saja yang berbeda saat memasuki antara Pangalengan dan Ciwidey, untuk menuju Cianjur ialah melalui jalur Ciwidey. Mengingat melihat peta pantai selatan ini terbagi ke dalam dua bagian yang memang bagian Ciwidey telah masuk ke dalam perbatasan dengan Cianjur memberikan pengalaman yang berbeda ketika menempuh perjalanan melalui Garut dari Pangalengan.

Meskipun sama-sama menempuh jalur pendakian kendaraan yang terbilang curam dan tinggi ataupun udara yang masih berhembus bagai dingin puncak ketinggian dengan khasnya embun, jalan antara perbatasan Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Cianjur ini lebih banyak dihiasi dengan peringatan jalanan licin dan rawan longsor yang lebih banyak dari Garut mengingat selain kondisi alamnya yang lebih tinggi dan tidak cocok untuk ditinggali, kondisi jalan yang minim perawatan mesti jadi alasan lainnya.

Dalam perjalanan itu diselimuti was-was, akhirnya ketika jalan telah mulai bertoleransi dengan diri tidak terasa pula di sebelah kanan terpampang tugu perbatasan dengan gapura Cianjur yang khas dengan bentuk ukiran yang religius dihiasi lambang daerah di ujung atasnya. Terlepas dari masih jauhnya perjalanan, dengan menyadari perjalanan telah memasuki daerah lain, diputuskanlah untuk berehat sejenak dengan sebuah spot parkiran atau wilayah yang disemen tanpa keterangan yang jelas dekat gapura itu. Tak luput ketenagan itu diabadikan.

Gapura Perbatasan Kabupaten Cianjur

Saya pikir bahwa dengan selesainya rehat ini dan menghilangnya kabut meliputi udara dingin telah menandai perjalanan yang mengarah menuju wilayah pantai dengan karakteristik pohon kelapa yang bernyiur-nyiur atau pasir-pasir yang menyerap apapun yang menimpanya, nyatanya tidak.

Ingin rasa mencoba memastikan peta daring yang digunakan, apakah benar jalan yang harus ditempuh masih jauh sekali sesuai gumaman ini, sayangnya jaringan seluler tidak satupun mau datang ke wilayah kaki bukit ini, alhasil saya hanya memperkirakan bahwa seterusnya jalan ini akan rusak, menyempit, dengan kanan kirinya pohon karet yang entah tumbuh sendirinya dan menyebar atau memang ini adalah kawasan konservasi.

Jalanan yang Menyempit

Perkiraan tersebut nyata adanya, 1 jam perjalanan memang akhirnya menemukan rumah-rumah penduduk yang diselingi oleh pohon karet di mana beberapa di antaranya sepertinya berusaha memanfaatkan jalan di depan rumahnya sebagai prasarana bisnis bahwa jalan satu-satunya itu pula dilewati oleh wisatawan seperti saya yang ingin berkunjung ke pantai. Mereka menyadari itu betul. Kebetulan pun motor yang dicintai ini tampaknya sering meminum bahan bakar selama menempuh lintas Bandung Raya tadi, sehingga bisnis stasiun bahan bakar kecil-kecilan memang menguntungkan di sini.

“Punten bu bade meser bensinna” ucap saya karena memang kios yang berjejer botol berisi bahan bakar itu penuh, namun sekitarnya tidak ada tanda-tanda khalayak lalu-lalang.

“Mangga a sabaraha” keluar seorang perempuan paruh baya yang tampaknya juga menyambi sebagai ibu rumah tangga. “Dua leter bae bu” sambung saya.

Sembari mengisi bahan bakar motor ini, pikiran saya ini berada di mana dan berapa jauh lagi menuju ke pantai terucap melalui mulut saya saking penasarannya. “Bu upami ieu nami wilayahna naon nya? Sareng nuju ka jayanti teh tebih keneh atanapi tos caket bu?. Lantas dijawabnya “Oh ieu mah Naringgul keneh a 30 kiloan deui ka Jayanti mah aya 1 jam deui ti dieu teh”. Tak luput saya mengucapkan terima kasih karena menghilangkan penasaran saya yang menggebu-gebu di kepala.

Selepas berangkat kembali, tidak lama saya menemui sebuah kawasan pemukiman yang tampaknya menjadi pusat dari wilayah ini, sekolah pun berpapasan di sebelah kiri bertulisan SDN 1 Naringgul Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur. Bahkan jaringan yang dielu-elukan kembali tersambung herannya dengan bar yang penuh, mungkin di sini ada menara pemancar pikir saya. Menurut peta daring, ternyata keberadaan saya di sana sudah condong di wilayah selatan. Semangat untuk memacu pun kembali lagi.

Meninggalkan wilayah pemukiman, jaringan pun turut hilang berikut dengan rumah-rumah yang meramaikan suasana pedesaan tersebut. Yang ada hanyalah kebun teh, persawahan dan tetap jalan sempit dan berlubang yang terus menemani di perjalanan.

Di suatu tempat di Naringgul

Selama 1 jam lebih perjalanan hanyalah dihiasi tebing, sawah, kebun teh, dan sesekali air terjun kecil di pinggir tebing, sayangnya keasikan untuk mencapai pantai melupakan saya untuk memotret keindahan tersebut. Namun pemandangan monoton seketika hilang ketika di depan mata terpampang tulisan arah jalan yang mengarah kepada pertigaan untuk memilih menuju Bandung, Cidaun (sepertinya wilayah pemukiman), dan Jayanti di arah kanan, dengan mengambil mengikuti marka itu, 20 menit pemandangan berganti dengan jejeran pohon kelapa dan pasir pantai, walaupun toko sekitar masih majemuk dengan kios bahan bakar.

Untuk sebuah motor dikenakan biaya Rp. 10.000 sebagai tiket masuk dengan memasukkan uang tersebut ke dalam kotak retribusi dan mendapat tiket yang tampaknya hasil fotokopi berulang. Yah, lagipula tidak dipermasalahkan selama tujuan akhirnya tercapai, terlebih penat-penat selama perjalanan sudah mendorong untuk mengingatkan beristirahat. Langit juga sudah mulai menggelap karena sore hari yang menjelang, memang meskipun saya masih dapat menikmatinya, untuk mengabadikan di kamera rasanya sudah menggelap sehingga terpotretlah satu buah saja.

Senja di Pantai Jayanti Cidaun Cianjur

Menikmati pantai pada malam hari pertama kali bagi saya karena senantiasa sampai di pantai pada siang hari sudah kenyang rasanya hingga menjelang malam hari sehingga kesunyian malam dan deburan ombak biasanya benar-benar dipakai untuk relaksasi diri baik fisik maupun jiwa ini untuk menyiapkan trip keesokan harinya, namun pada kali itu, saya memutuskan untuk menikmatinya lebih malam lagi sebelum beristirahat.

Melanjutkan keesokan harinya, tidak seburuk dan melelahkan ketika perjalanan dari Bandung, namun karena tujuan selanjutnya adalah sesama di selatan maka melintasi jalur selatan provinsi sudah begitu mulus kondisinya dan hanya bergerak lurus yang membuat mengantuk apabila tidak ada lubang-lubang.

Alun-Alun Sindangbarang Cianjur

Dalam waktu 1 jam, sudah terpampang kehiruppikukan di jalur selatan ini, ternyata saya telah sampai di Alun-Alun Sindangbarang Cianjur tepat di sana terdapat perempatan yang mengarah ke Cianjur Utara dan ke Pantai Apra, yang kemudian saya putuskan untuk belok ke kiri arah pantai yang memakan waktu lebih kurangnya 10 menit ke dalam pantai.

Pantai Apra, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur

Ternyata pantai Apra ini mengandung sejarahnya loh, Konon diberi nama APRA untuk mengabadikan penggalan sejarah pergerakan nasional pascakemerdekaan yakni Angkatan Perang Rakyat Semesta (APRA) kata warga sekitar pantai ini yang juga terkenal saat musim Impun tiba, Impun ini berupa ikan yang kecil-kecil namun ini sangat nikmat dan lezat bila dimakan di mana musim Impun ini biasanya terjadi pada tanggal 21 hingga 25 setiap bulannya ataupun hanya pada bulan-bulan tertentu saja. Pantai Apra ini selain menyajikan pemandangan yang menarik, pengunjung dapat melakukan berbagai aktifitas di pantai ini seperti berenang, berjemur, melihat sunset dan berselancar. Di pantai ini tersedia tempat parkir dan warung-warung tradisional. Namun, karena kurang nya perhatian dari pemerintahan dan masyarakat setempat, menjadikan pantai ini sepi pengunjung setiap hari nya, kecuali pada saat libur nasional tiba.

Sukabumi

Di tengah masa liburan lainnya, akhirnya saya mencoba untuk menjelajah sesuatu yang lebih jauh, lebih lagi katanya wilayah ini memiliki luas yang paling besar dari wilayah lain di Jawa Barat, ya, Sukabumi. Seperti biasa saya berangkat dari ibukota ke arah timur menggunakan mio kesayangan yang telah menemani jelajah-jelajah sebelumnya. Namun kali ini berbeda, tidak menempuh jalur selatan, melainkan melalui jalur nasional atau jalan raya pos dahulu pada masa Hindia Belanda.

Suasana alam yang biasanya menemani sekaligus mendebar-debarkan perjalanan tidak terasa melainkan dari ramainya kendaraan yang berbagai macam, besar dan kecil, sendiri dan berkeluarga, tua dan muda karena jalan ini memang menjadi poros utama yang mengarah ke wilayah perkotaan di Cianjur, Sukabumi, hingga menuju Banten.

Keluar dari Bandung itu seperti keluar dari perbukitan yang mengelilingi, entah itu menuju selatan, timur, barat, dan utara tetap melaluinya, termasuk menuju arah Cianjur wilayah perkotaan ini jalanan berkelok serta mendaki menghiasi perjalanan hingga sampai kepada batas.

Batas Kabupaten Cianjur di Jalan Raya Pos

Selepas dari gapura ini, jalanan benar-benar datar seperti bukit yang dilalui hilang begitu saja, hanya kemacetan yang menanti karena sejatinya adalah jalan raya yang menghubungkan wilayah strategis. Lalu-lalang kendaraan dan pemukiman padat penduduk yang mewarnai perjalanan 3 jam lamanya hingga mencapai Kota Sukabumi.

Sampai di Kota Sukabumi, saya memilih untuk ke jalanan pemukiman yang lebih kecil dan di sini ciri khas jalanan secara umum mulai terasa dengan berlubang dan minim akan pengawasan lalu lintas. Namun yang mengingatkan saya pada jalan ini adalah dihiasinya di setiap tiang jalanan dengan jenis-jenis adat dan kebudayaan Sunda dari wayang hingga seni daerah khas Sukabumi hingga sampai masuknya ke perbatasan kabupaten. Sayangnya selama perjalanan ini terlalu fokus kepada ketidaksabaran saya untuk segera sampai sehingga tidak terabadikan.

Singkat cerita, masuklah ternyata kepada sebuah kawasan kalau tidak salah namanya itu Lengkong di Kabupaten Sukabumi yang mulai dipenuhi oleh hutan di sana kemari dan kondisi jalan yang bahkan berlubang dalam dan berdebu. Selain itu, banyak pula pabrik yang berjejeran, tampaknya memang itu kawasan industri di Sukabumi. Ditambah pada perjalanan ini saya was-was karena selama berada di Lengkong, sulit sekali ditemukannya kios atau stasiun pengisian bahan bakar.

Memasuki wilayah bernama Ciracap, di sinilah mulai terlihat kembali terlihat kawasan pemukiman dan jalan yang dilalui pun tampaknya diperhatikan oleh pemerintah setempat dengan polesan aspal beserta markanya yang berwarna putih. Satu hal yang dicari, tempat pengisian bahan bakar untuk mio saya yang terlihat hanya kuat hingga perbatasan kabupaten, selebihnya saya hanya mengandalkan perasaan antara tangki yang kosong dengan terisi.

Plang marka jalan pun sudah mulai mengarah terhadap Pantai Ujung Genteng yang memang menjadi tujuan saya waktu itu selama menjalani trip di Sukabumi, tetapi saya sadari jarak tempuh yang diperlukan begitu besar dan memakan waktu sampai 8 jam lamanya sampai tepat masuk ke wilayah pantai itu.

Perjalanan yang paling melelahkan dalam trip ke pantai terbayarkan dengan kondisi pantai yang sepi tetapi diselimuti oleh pasir putih bahkan beberapa bibir pantai menjadi penangkaran penyu yang saya sendiri melihatnya untuk pertama kali. Berpuas-puaslah saya di sana berenang, memotret lautan yang hanya laut dan tebing karang, tak luput menuliskan grup musik favorit di pasir pantai.

Pantai Ujung Genteng, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi
Halo, Matsuura Kanan mini-figure!

Senanglah diri saya kala itu, namun saya harus segera beristirahat untuk melanjutkan trip selanjutnya ke Pantai Ciletuh atau dikenal juga sebagai Geopark Ciletuh. Perjalanan dari Pantai Ujung Genteng hanya memakan waktu lebih kurangnya 3 jam untuk mengarah ke arah utara Sukabumi ini.

Perjalanan menuju sana terbilang asik, karena memang selain jalan raya yang terawat, juga mendaki bukit dengan suasana pinggir laut yang belum pernah saya rasakan sebelumnya, meskipun jalanan sering berkelok, tak jarang banyak pengendara yang tidak sabaran untuk memacu kendaraannya melihat jalanan yang sepi dan mulus.

Geopark Ciletuh, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi

Saya sempat mengunjungi bukit yang terkenal di internet ataupun media sosial dalam rangka mengenalkan Ciletuh ini, namun apa daya mungkin memang belum rezeki saya karena baterai tidak bersahabat dengan jiwa saya yang menggebu, sedangkan ponsel inginnya tidur dan kurang tenaga. Lama pun menunggu sembar mengisi daya, ya sudah mending pergi ke pantainya saja langsung siapa tahu adanya tulisan yang bisa difoto. Benar saja, tulisan ‘Geopark Ciletuh’ terpampang di bibir pantai yang tidak boleh dilewatkan.

Meski hanya berencana untuk trip seharian di Geopark Ciletuh, saya tentunya juga penasaran apakah akomodasi di geopark tersebut cukup baik atau tidak. Dan yang paling bikin penasaran berapa rate per malam jika kita memutuskan untuk menginap di Geopark Ciletuh. Sepanjang perjalanan di Geopark Cietuh, kami memang menemui banyak pilihan tempat menginap. Untuk hotel kami tidak melihatnya. Tapi pilihan menginap berupa homestay ada banyak, kok.

Setelah menikmati Geopark Ciletuh, saya terus melanjutkan trip ke utara Sukabumi dengan tujuan kali ini adalah Pantai Pelabuhanratu. Selain karena dekat dengan pusat perkotaan di Sukabumi, juga akses yang menghubungkan jalan raya nasional ke Bandung menjadi solusinya.

Kembali memakan waktu lebih kurangnya 3 jam juga, dengan kondisi bentang alam yang juga tidak jauh berbeda hanya saja mungkin pada malam hari jalanan ini minim dari penerangan sebab sejauh tempuhan saya, tidak ada satu tiang pun yang menandakan arah atau penerangan sama sekali. Sampai pada akhirnya terdapat satu marka kayu di pertigaan Pelabuhan Ratu yang membantu mengarahkan saya ke pusat perkotaan. Menyusuri jalan tanpa marka memang di sini mulai terasa sulit karena wilayah perkotaan terdapat jalan pemukiman yang bercabang.

Setelah bertanya di sana-sini, plong, saya keluar tepat di depan lampu lalu lintas yang memang menjadi sebuah hal yang jarang di kabupaten bahkan di pedesaan. Ternyata di depan lampu merah sudah memasuki wilayah Pelabuhanratu di mana atmosfir pusat pemerintah dan perkotaan mulai terasa dan untuk mencapai pantainya pun tidak sulit karena selain banyak penginapan atau homestay yang mengarah ke wilayah pantai, juga marka yang terpampang bersebaran.

Pantai Pelabuhanratu, Kecamatan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi

Pantai Pelabuhan Ratu merupakan pantai yang memiliki keindahan panorama yang khas. Perpaduan antara pantai yang curam, pantai landai. Pada beberapa bagian terdapat juga karang terjal dengan latar belakang cagar alam hutan dan gunung.

Pantai Pelabuhan Ratu terkenal sampai mancanegara sebagai lokasi dengan topografi alam yang indah. Pantai ini populer sebagai pantai dengan udara yang sejuk, dan hamparan pasir yang luas. Keindahan hamparan pasir itu dipercantik lagi dengan tebing karang yang terjal di beberapa bagian pantai dan tiket yang lebih murah Rp. 2000 dari pantai-pantai lain di mana motor hanya cukup membayar Rp. 8000.

Akhirnya saya menikmati matahari terbenam di pantai ini. Terlihat indah. Setidaknya dalam 2 hari berarti saya sudah mendatangi 3 pantai sekaligus. Benar-benar sebuah perjalanan yang menyenangkan namun melelahkan, tetapi sebuah pengalaman yang berbeda ketika menjalani trip di sebuah daerah yang kaya akan berbagai jenis pantai ini.